BORERO. ID TERNATE–Menjelang 17 Agustus 2024, bertepatan dengan 79 tahun Indonesia menyatakan Kemerdekaan, yang di ikrarkan Bung Karno atas dukungan para Kiyai Nusantara, dirumuskan tujuan Pembangunan nasional dalam UUD 1945, melakukan perlindungan kepada penduduk miskin. Data menunjukan kemiskinan yang terus menebal berada di pedesaan dan mayoritas penduduk miskin adalah jamaah Nadhliyin.
Untuk itu, Ikatan Sarajana Nahdatul Ulama (ISNU) Wilayah Maluku Utara (Malut) sebagai wadah kaum cendikia Nadhliyin, perlu melakukan perumusan evaluasi tematik terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Demokratis, dimana Presiden di pilih secara langsung oleh jamaah sejak amandemen UUD 1945, dan memulai pemilihan langsung tahun 2004.
ISNU Wilayah Malut melalui siaran persnya kepada media ini, Kamis (15/7/2024), menganalisis penanganan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan data belanja Pemerintah hasil audit BPK RI dari tahun 2004-2023, yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara Data yang disajikan BPK RI atas hasil pemeriksaan laporan keuangan periode 2004-2023. Dipilah dalam 2 periode kepemimpinan presiden yaitu Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi), masing-masing melewati masa pemerintahan 2 Periode.
Disclaimer untuk data 2004 tidak di masukan karena tahun 2004 ada 2 Presiden yaitu Megawati dan SBY sebagai tahun transisi dan Tahun 2014 SBY dan Jokowi sehingga tahun 2004 dan tahun 2014 sebagai tahun transisi tidak dimasukan dalam analisa datanya, karena itu analisis hanya menggunakan 9 tahun kepemimpinan yaitu 9 Tahun Presiden SBY 2005-2013 dan 9 Tahun Presiden Jokowi 2015-2023Penduduk Miskin yang di wariskan Presiden Megawati kepada Presiden SBY tercatat sebanyak 38.943.240 jiwa, tahun 2005, SBY menerbitkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pengalihan dana APBN dari subsidi ke BLT pada periode pertama sukses menurunkan angka kemiskinan sebanyak 5.864.270 Jiwa penduduk miskin.
Periode ke-2 SBY melanjutkan kesuksesan di tengah resesi keuangan global tahun 2009, mencapai 4.802.270 jiwa penduduk miskin sehingga tersisa penduduk miskin pada akhir masa kepemimpinan SBY 27.727.790 penduduk miskin yang diserahkan ke Presiden Jokowi dalam melanjutkan penanggulanggan kemiskinan.
Presiden Jokowi di awal pemerintahan mengusung Visi Nawacita dan melanjutkan program Kartu Prasejahtera dan berbagai bentuk kartu penangganan penduduk miskin pada periode pertama hanya mampu menurunkan penduduk miskin sebanyak 2.941.920 jiwa penduduk miskin, sedangkan pada periode kedua justru mengalami peningkatan selama masa pemerintahan Joko Widodo dan Maruf Amin, meningkat sebesar 433.330 jiwa penduduk miskin, yang menyisahkan penduduk miskin sebanyak 25.219.120 jiwa kepada pemerintahan Prabowo.
Masa Pemerintahan Joko Widudu sukses melakukan penanganan kemiskinan melalui pengendalian inflasi, yang digerakan bersama Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah melalui program Tim Penanggulangan Inflasi Daerah, mampu menahan pergerakan harga barang konsusmis di Nusantara, yang diikuti dengan kebijakan yang lebih pro pada pertumbuhan ekonomi.
Pada 20 tahun masa kepemimpinan kedua presiden mengalami resesi dengan Menteri keuangan yang sama yaitu Sri Mulyani Indarwati, baik pada masa pemerintahan SBY mengalami tekanan resesi keuangan global tahun 2009, dan pada masa pemerintahan Jokowi Covid19 tahun 2020.
Kebijakan masa SBY melakukan pengendalian fiscal dan moneter untuk menjaga ancaman runtuhnya sektor financial, berdampak kemudian kasus Bank Senturi mencuat kepermukaan, sehingga pada penanganan Covid-19, dalam menjaga perekonomian di terbitkan Perpu penanganan Covid-19, dan yang sangat mempengaruhi fiscal dengan kebijakan pembatasan deficit dari 3% dihilangkan dan memberi kesempatan kepada Pemerintahan Jokowi melakukan pelebaran deficit untuk menjaga perekonomian dan penangnan penduduk miskin akibat pembatasan social.
Pelebaran deficit membuat pemerintahan Jokwi melakukan ekspansi fiscal dengan menambah PDB untuk mengatasi Covid19 Rakyat setuju memberi kesempatan kepada Jokowi melakukan pelebaran defisit untuk menambah pundi2 APBN melalui Utang, faktanya utang meningkat namun saat yang sama penduduk miskin justru naik tidak mengalami penurunan yang signifikan ditahun 2020 Pemberian akses utang kepada Jokowi melalui pelebaran defisit dimaksudkan untuk mengatasi penduduk miskin akibat pembatasan sosial, dan meningkatnya penduduk miskin namun kenaikan belanja sosial dan utang tidak seimbang akibat kemudian penduduk miskin tidak dapat diatasi secara baikPertumbuhan deficit masa pemerintahan Jokowi baik sebelum masa Covid-19 dan setelah masa Covid-19 cenderung tumbuh, yang berdampak pada beban utang yang terus meningkat, sehingga pada masa akhir pemerintahan Jokowi, mayoritas Pendapatan Negara yang bersumber dari Pajak Negara, digunakan untuk membayar Bunga Pinjaman.
Pelebaran defisit masa pemerintahan Jokowi, diikuti dengan pertumbuhan belanja yang didominasi belanja lainlain yang mencapai 925,96%, atau dari 11,70 ribu triliun meningkat menjadi 176,58 ribu triliun, disusul belanja bantuan social 80,06%, belanja barang 26,29% dan pembayaran bunga 14 persen.
Jika dipotret dari share belanja pemerintah pusat terhadap belanja penanganan social justru jauh lebih signifikan pada pola belanja pemerintahan SBY di banding Pemerintahan Jokowi, sedangkan dari aspek pertumbuhan belanja, pada masa pemerintahan Jokowi mengalami pertumbuhan menus pada tahun kedua dan tahun ketiga periode kepemimpinan.
Mencermati dinamika pola penanganan penduduk miskin, dapat disimpulkan bahwa pola penanganan penduduk miskin SBY melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) efektif sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi melalui Penanganan Inflasi dapat mengendalikan kenaikan harga barang konsumsi.
Pemerintahan Prabowo, disarankan dapat melakukan modifikasi kebijakan penanggulanggan kemiskinan dengan skema :
1. Melanjutkan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) ala SBY, diikuti dengan kebijakan Makan Bergizi Gratis, akan memberikan dampak aliran uang negara (APBN) yang inklusif di desa dan kelurahan untuk meningkatkan derajat perekonomian Masyarakat lapisan bawah.
2. Melanjutkan Program Penanganan Inflasi melalui penguatan TPID di setiap daerah, yang diikuti dengan kebijakan mengatasi disparitas harga antar pulau, antar daerah dan antar kota dan desa, melalui Program Nusantara Satu Harga (NU-Siaga) untuk menjaminkan pemenuhan konsumsi warga desa dalam mengatasi kemiskinan pedesaan, dengan memanfaatkan BUM Desa dan Program Tol Laut yang mengatasi ketimpangan harga di Negara Kepulauan.
Demikian pokok-pokok rekomendasi ISNU Wilayah Malut dalam penanganan kemiskinan untuk menyelamatkan kaum nadhliyin pedesaan di wilayah Nusantara yang ditandatangani Ketua ISNU Malut Dr. A Muhktar Adam, dan Sekertaris Dr. Adnan Mahmud. (*)