OPINI  

Pertambangan dan Kerusakan Lingkungan

Tiklas Pileser Babua*
Penulis* : Tiklas Pileser Babua
(Ketua GMKI Cabang Jailolo)

Banjir bandang yang melanda warga di sekitar tambang PT. IWIP, Weda, Halmahera Tengah, menjadi sorotan publik Maluku Utara. Lemahnya mitigasi bencana dan kurangnya edukasi tentang restorasi hutan telah mengakibatkan bencana alam seperti banjir bandang yang tidak dapat dibendung. Hutan dibabat, tanah diembat, air tersumbat—itulah gambaran sederhana ketika sumber daya alam dirusak oleh tangan manusia.

Topik pertambangan di negara-negara berkembang telah menjadi isu hangat dari dulu hingga sekarang. Dalam buku Escaping The Resource Curse yang disunting oleh ekonom dunia Joseph Stiglitz, dipaparkan kerugian besar bagi suatu negara yang memberikan keleluasaan kepada negara maju untuk berinvestasi secara besar-besaran di bidang tersebut. Pendapatan yang dihasilkan memang menjanjikan, tetapi keuntungan tersebut lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar dan segelintir orang di pemerintahan, sementara dampak negatifnya dirasakan oleh masyarakat luas dan lingkungan.

Pengelolaan ekonomi berbasis lahan atau sumber daya alam sering mengesampingkan aspek lingkungan. Lingkungan oleh sebagian kaum antroposentrisme dianggap sebagai obyek yang dikelola secara maksimal karena manusia dianggap makhluk yang paling tinggi derajatnya. Akibatnya, dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat sering diabaikan. Aspek preemtif dan preventif selalu diabaikan demi menghasilkan produk yang cepat dan ekonomis, sehingga kerusakan semakin meluas dan tidak terkendali. Usaha untuk memulihkan lingkungan yang rusak atau tercemar seringkali tidak mampu mengembalikan kondisi ke kualitas sebelumnya.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, dan UU No. 11 Tahun 1967 seakan menjadi kejahatan yang terorganisir. UU ini membuka pintu bagi eksploitasi pertambangan yang sebagian besar berada di hutan, dengan biaya investasi tinggi yang seringkali merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Aktivitas pertambangan tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga menimbulkan gejolak sosial. Eskalasi gesekan antara perusahaan tambang dengan masyarakat meningkat, pola agraris masyarakat berubah menjadi masyarakat tambang, dan lingkungan sekitar tambang rusak dan tercemar. Walaupun ada usaha untuk memperbaiki kerusakan tersebut, usaha ini seringkali kurang dan tidak menyentuh hal yang substantif.

Di Maluku Utara, kehadiran tambang mengharuskan sebagian masyarakat beralih profesi menjadi pekerja buruh. Masyarakat yang dulunya berkebun dan bertani kini bekerja di areal pertambangan yang lebih menjanjikan secara ekonomi dalam jangka pendek.

Sebagai salah satu sumber devisa Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir, industri pertambangan dengan segala bentuk dan jenisnya menjadi isu menarik dan memiliki dimensi besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fokus utama seringkali pada keuntungan ekonomi, sementara aspek sosial, budaya, dan lingkungan terabaikan. Misalnya, kehadiran perusahaan tambang memerlukan aparat keamanan yang berlebihan, yang terkadang melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat sekitar yang dianggap mengganggu, sehingga kehidupan masyarakat semakin terdesak.

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kekayaan alam Indonesia harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan besar. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya Pengawasan Pengelolaan Pertambangan

Penegakan hukum meliputi aspek preventif dan represif. Penegakan hukum lingkungan bertujuan untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, pidana, dan perdata. Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.

Keith Hawkins mengemukakan bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua sistem atau strategi: compliance dengan conciliatory style dan sanctioning dengan penal style. Conciliatory style bersifat remedial dan bertujuan untuk memperbaiki situasi buruk, sedangkan penal style bersifat menuduh dan hasilnya adalah hukuman atau tidak sama sekali.

Penegakan hukum lingkungan preventif dapat berupa dialog, diskusi, penyuluhan, dan pemantauan. Pengawasan dilakukan oleh pejabat pemberi izin usaha di bidang pertambangan sesuai dengan kewenangannya. (*)

\

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *